Penulis: Nanda Vico Saefullah Hakim
Peserta Magang CELCJ FH UI 2025
Pada tanggal 26 Mei 2025, telah diselenggarakan sebuah diskusi publik yang sangat penting dengan tema “Analisis Kasus Surya Darmadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 4950 K/Pidsus/3”. Acara ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam kepada masyarakat mengenai aspek hukum dan implikasi dari putusan Mahkamah Agung terkait kasus yang tengah menjadi sorotan publik, yaitu dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Surya Darmadi.
Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber ahli dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, antara lain Dr. Yuli Indrawati, S.H., M., pengajar Hukum Administrasi; Prof. Andri Gunawan Wibisana S.H., LL.M., Ph.D., Ketua Center for Environment Law and Climate Justice; Bapak Ahmad Ghozi,S.H.,LL.M. serta Bapak Ganjar Laksmana Bonaprapta,S.H., M.H., pengajar bidang Hukum Pidana yang berpengalaman dalam mata kuliah asas-asas hukum pidana, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana pencucian uang. Acara ini dipandu oleh moderator sekaligus peneliti di Indonesia Center for Environmental Law, Mbak Marsya Mutmainnah, S.H., LL.M.
Diskusi ini mengupas tuntas putusan Mahkamah Agung Nomor 4950 K/Pidsus/3 Tahun 2023 yang menjadi pusat perhatian publik karena adanya perbedaan signifikan dengan putusan di tingkat pertama dan banding. Hukuman pidana yang dijatuhkan meningkat dari 15 tahun menjadi 16 tahun penjara, dengan denda sebesar Rp1 miliar dan subsider 6 bulan penjara. Putusan ini menimbulkan perdebatan terkait rasa keadilan, terutama mengingat kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp4 triliun.
Salah satu aspek penting yang dibahas adalah adagium hukum Res judicata pro veritate habetur, yang berarti putusan hakim harus dianggap benar dan final. Namun, perbedaan putusan di tingkat kasasi menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi dan alasan di balik perubahan hukuman tersebut. Narasumber juga menyoroti logika konversi antara pidana penjara dan denda dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang seringkali membingungkan publik.
Dalam diskusi ini, para narasumber memberikan pandangan kritis terhadap besaran denda yang dianggap tidak sebanding dengan kerugian negara yang terjadi. Mereka berharap putusan ini dapat menjadi pelajaran penting bagi penegakan hukum yang lebih transparan dan adil di masa depan. Perhatian terhadap putusan ini dalam konteks penegakan hukum tercermin dari pendapat Bapak Ganjar yang menekankan bahwa “Putusan ini memang mengejutkan, namun bagi yang sudah mengikuti prosesnya, hal ini bukan sesuatu yang sepenuhnya tak terduga. Namun, perbedaan putusan di tingkat kasasi menimbulkan banyak pertanyaan yang perlu dijawab secara transparan.”-Ganjar Laksmana Bonaprapta,S.H., M.H. Kondisi ini juga menavigasi menuju polemik terbaru seperti yang ditekankan oleh Dr. Yuli bahwa “Kita harus memahami bahwa putusan pengadilan adalah final, tapi juga harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat.” ujar Dr. Yuli Indrawati
Acara ini diharapkan dapat memperluas wawasan masyarakat dan mendorong diskursus hukum yang konstruktif, khususnya dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh narasumber, moderator, dan peserta yang telah berpartisipasi aktif dalam diskusi ini.