Peneliti Center for Environmental Law and Climate Justice Fakultas Hukum Universitas Indonesia (CELCJ FH UI), Josi Khatarina, S.H., LL.M., Ph.D., mempresentasikan hasil penelitiannya bersama dengan Syaharani dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) berjudul “Toward a Coherent Framework for Justice” pada 2025 Indonesia Update yang diselenggarakan oleh Australian National University (ANU) Indonesia Project dengan tema: “Navigating Climate Change in Indonesia: Mitigation and Adaptation Pathways” Dalam penelitiannya, Josi dan Syaharani menyoroti tiga hal utama. Adapun ketiga hal yang disorot adalah alasan Indonesia membutuhkan undang-undang khusus mengenai perubahan iklim, komponen penting yang seharusnya termuat dalam undang-undang tersebut, serta tantangan dan peluang yang mungkin muncul dalam proses pembentukannya.
Josi dan Syaharani memaparkan bahwa urgensi undang-undang khusus mengenai perubahan iklim terlihat dari dampak perubahan iklim yang semakin mengancam kehidupan manusia, khususnya pada kelompok marjinal. Sebagai contoh, komunitas adat menghadapi kehilangan wilayah pengelolaan tradisional, mata pencaharian, migrasi paksa, serta ancaman hilangnya pengetahuan tradisional. Selain itu, penelitian Eskander & Fankhauser (2020) memperlihatkan bahwa keberadaan undang-undang iklim akan memberikan bobot politik serta visibilitas yang lebih besar, baik di tingkat nasional maupun internasional. Sayangnya, kerangka hukum Indonesia yang ada saat ini dinilai tidak ambisius, tidak jelas, serta tidak konsisten dalam menetapkan target dan sinyal kebijakan iklim nasional.
Oleh karena itu, terdapat proposal pengajuan rancangan undang-undang baru oleh Aliansi Rakyat Untuk Keadilan Iklim (ARUKI), yaitu koalisi dari 36 organisasi masyarakat sipil. Proposal itu diberi berjudul “Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim”, di mana undang-undang tersebut bertujuan untuk mengatasi berbagai permasalahan kerangka hukum yang ada. RUU ini sendiri didukung oleh argumen mandat konstitusional sesuai UUD NRI 1945 serta perkembangan terbaru dari Advisory Opinion ICJ yang memperkuat dasar hukum untuk mendorong adanya undang-undang iklim Draf akademik dari RUU ini diluncurkan dalam Climate Justice Summit pada Agustus 2025 dan diserahkan kepada anggota DPR dan DPD yang hadir pada acara tersebut.
RUU Keadilan Iklim merinci prinsip-prinsip serta komponen utama dalam rancangan undang-undang iklim. Prinsip dasar yang diusung mencakup keadilan, perlindungan hak asasi manusia, prinsip non-regresi, prinsip kehati-hatian, serta berbasis pada sains terbaik yang tersedia. Selain itu, RUU tersebut juga mengatur tentang pentingnya target ambisius dan mekanisme peninjauan, aspek hak kelompok marjinal dan tanggung jawab negara, strategi integrasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pengaturan Loss and Damages, pembiayaan iklim, transparansi dan partisipasi publik, kolaborasi antar institusi, serta penegakan hukum.
Terdapat beberapa tantangan dan peluang yang dihadapi dalam mendorong pengesahan RUU Keadilan Iklim. Tantangan yang dihadapi antara lain menyempitnya ruang sipil (shrinking civic space) yang membatasi akuntabilitas dan partisipasi publik, praktik pembentukan undang-undang yang lemah dalam melibatkan masyarakat seperti revisi UU KPK dan Omnibus Law, serta otoritas yang terfragmentasi dalam isu perubahan iklim yang menimbulkan ego antar kementerian. Namun, di sisi lain terdapat peluang yang bisa dimanfaatkan, seperti litigasi di tingkat nasional maupun global (termasuk melalui Advisory Opinion ICJ) yang dapat memastikan tindakan kehati-hatian tingkat tinggi di tingkat negara, semakin kuatnya kerangka hukum internasional yang mendorong langkah ambisius, meningkatnya kepentingan ekonomi dalam membangun pasar karbon Indonesia yang bereputasi, serta kemajuan ilmu pengetahuan iklim baik secara global maupun nasional yang dapat memperkuat basis kebijakan berbasis sains.