Pernyataan Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ)-FHUI atas Ketentuan Mengenai Lingkungan Hidup dalam UU Cipta Kerja[1]
Tulisan ini merupakan catatan kritis atas sebagai respon atas undangan Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja (selanjutnya Satgas) untuk mengikuti dan memberi masukan pada Focus Group Discussion (FGD) terkait UU Cipta Kerja (UU Ciptaker), tanggal 13 November 2022. Berikut adalah poin-poin pandangan kami terkait Pasal 22 UU Ciptaker terkait perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
UU Ciptaker setidaknya melakukan perubahan terhadap beberapa konsep di dalam UUPPLH. Pertama, UU Ciptaker melakukan pengurangan definisi dan peran dari masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam proses penyusunan dan penilaian Amdal. Kedua, UU Ciptaker melakukan perubahan terhadap prosedur penyusunan dan fungsi dari UKL/UPL. Ketiga, UU Ciptaker menghapuskan izin lingkungan. Keempat, UU Ciptaker mengubah ketentuan mengenai pengawasan dan sanksi administratif. Kelima, UU Ciptaker mengubah jenis dan fungsi dari sanksi pidana. Keenam, Naskah Akademik UU Ciptaker dan aturan turunan UU Ciptaker, yaitu PP Nomor 22 Tahun 2021 menghilangkan makna substantif dari tanggung jawab mutlak (strict liability).
Kami tidak sepakat dengan perubahan-perubahan tersebut. Satu-satunya ketentuan penegakan hukum yang patut dipertahankan dari perubahan UU Ciptaker terhadap UUPPLH adalah diperkenalkannya denda administratif sebagai salah satu bentuk sanksi administratif. Kami berpandangan bahwa perlunya penghapusan ketentuan UU Ciptaker yang mengubah Amdal dan UKL-UPL, serta menghapus Izin Lingkungan. Dengan demikian, ketentuan UUPPLH mengenai hal tersebut harus dikembalikan ke ketentuan sebelum adanya UU Ciptaker.
Kami juga melihat bahwa perumusan UU Ciptaker terkait perubahan tanggung jawab mutlak (strict liability) dari Pasal 88 UUPPLH ternyata didorong oleh keinginan untuk menghapuskan tanggung jawab mutlak dari sistem pertanggungjawaban perdata lingkungan. Keinginan ini terwujud setelah adanya perubahan UU Ciptaker terhadap Pasal 88 UUPPLH. Dengan kata lain, UU Ciptaker telah membuka jalan bagi berakhirnya penerapan tanggung jawab mutlak dalam hukum lingkungan di Indonesia. Atas dasar itu, kami berpandangan bahwa ketentuan Pasal 88 UUPPLH dikembalikan kepada rumusan sebelum terjadinya perubahan oleh UU Ciptaker.
Selain itu, kami juga tidak sepakat ditambahkannya pasal keterlanjuran (forest amnesty), terutama Pasal 110B, ke dalam ketentuan dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 (UUP3H). Ketidaksepakatan ini ditujukan atas potensi hilangnya tanggungjawab pidana bagi korporasi perusak atau aktor intelektual perusak hutan. Namun, kami sepakat mekanisme ini diperuntukan bagi masyarakat yang tinggal dan hidup bergantung kepada kawasan hutan.
Bali, 13 November 2022
[1] Penjelasan lengkap atas catatan ini dapat dilihat dalam lampiran dari pernyataan ini.