Tantangan Krisis Pencemaran Udara: Gugatan Warga Negara dan Respons Pemerintah
Pendahuluan
Pencemaran udara telah menjadi permasalahan lama di Indonesia. Merupakan pengetahuan umum betapa mengkhawatirkannya kondisi pencemaran udara di kota-kota besar Indonesia pada saat ini, terutama di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Berbagai kegiatan manusia, mulai dari aktivitas pabrik, PLTU batu bara, hingga emisi gas dari kendaraan bermotor, ikut berkontribusi dalam memperburuk kualitas udara di Jakarta.
Tingkat pencemaran udara di suatu wilayah, berdampak besar pada kesehatan masyarakatnya. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) per tahun 2019, pencemaran udara ambien telah mengakibatkan setidaknya 4,2 juta kematian prematur, di mana 89% dari kematian tersebut terjadi di wilayah Pasifik Barat dan Asia Tenggara. Selanjutnya, fakta bahwa paparan polusi udara ambien, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dianggap sebagai ancaman serius bagi kesehatan masyarakat di negara-negara industri barat, maka pencemaran akan menimbulkan masalah yang lebih serius jika terjadi di negara berkembang. Ledakan populasi dengan diiringi pertumbuhan industrialisasi dan urbanisasi yang pesat, menghasilkan pusat perkotaan yang padat dengan kualitas udara yang buruk. Bukankah situsi ini mirip seperti apa yang sedang terjadi pada Ibu Kota kita pada saat ini.
Isu pencemaran udara merupakan suatu tantangan global yang memerlukan penanganan serius dan segera, tidak terkecuali bagi negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun pemerintah Indonesia telah beberapa kali mengutarakan pernyataan di media terkait keseriusan mereka dalam menangani pencemaran udara, namun dengan kondisi aktual udara Jakarta pada saat ini, perlu dipertanyakan kembali apakah tindakan yang diambil pemerintah berdasarkan fakta yang ada di lapangan saat ini benar sesuai dengan komitmen yang mereka sampaikan. Namun ironisnya, kondisi nyata yang dirasakan masyarakat pada saat ini justru berbanding terbalik.
Gugatan CLS Pencemaran Udara Jakarta
Mulai dari sadarnya akan tingkatan kesehatan dan kualitas hidup yang semakin menurun, hingga tak kunjung datangnya tindakan serius dari pemerintah untuk menangani permasalahan pencemaran udara di Ibu Kota, merupakan beberapa alasan yang melandasi dilayangkannya gugatan warga negara (citizen law suit) oleh 32 warga negara Indonesia pada bulan Juli tahun 2019. Warga negara tersebut tergabung dalam Tim Advokasi Gerakan Ibukota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta). Gugatan diajukan kepada Pemerintah Republik Indonesia, termasuk Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dan Gubernur DKI Jakarta serta Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.
Gugatan ini menunjukkan keresahan masyarakat Indonesia terhadap kurangnya tindakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menangani pencemaran udara, khususnya pada wilayah Jakarta dan sekitarnya. Gugatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat ini, pada intinya memuat permintaan agar pemerintah memenuhi berbagai kewajiban pengendalian pencemaran udara yang sebagaimana telah tercantum dalam peraturan perundnag-undangan.
Dalam gugatannya, Penggugat menyatakan kelalaian pemerintah atas kewajibannya dalam mengatasi memburuknya kualitas udara Jakarta, serta tidak melakukan pengawasan maupun penegakan hukum secara maksimal dalam menghadapi permasalahan ini. Atas hal ini, Penggugat menyatakan bahwa Para Tergugat tidak menjalankan kewajibannya selaku penyelenggara negara, di mana pemerintah juga dianggap telah melanggar hak atas warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang sebagaimana telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya. Bahwa tercemarnya udara yang telah kritis di Jakarta, telah mengakibatkan timbul dan meningkatnya berbagai penyakit terkait pencemaran udara yang dialami oleh masyarakat.
Selain itu, Para Penggugat menyatakan bahwa pemerintah telah gagal untuk memenuhi tindakan dan kewajibannya dalam menetapkan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) sesuai dengan standar internasional yang ditetapkan oleh WHO dalam mengatasi pencemaran udara yang terjadi di Jakarta. Dalam gugatannya pula, Para Penggugat mengharapkan pemerintah untuk merancang rencana tindakan yang didasarkan pada penelitian komprehensif untuk mengurangi pencemaran udara, serta sebuah rencana aksi untuk meningkatkan kualitas udara. Terlebih lagi, Para Penggugat juga meminta pemerintah untuk menyelidiki secara sistematis dan mengatasi semua sumber pencemaran udara.
Pada bulan September 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian besar gugatan dari Penggugat. Pengadilan menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan pencemaran udara di Jakarta dan dengan demikian harus dilakukan pengetatan akan standar kualitas udara nasional. Putusan ini jelas merefleksikan dibutuhkannya urgensi akan kesadaran pemerintah untuk segera menindaklanjuti permasalahan pencemaran udara. Namun, di tahun yang sama pemerintah justru mengajukan upaya hukum berupa banding, bahkan kasasi pada awal tahun 2023 ini.
Too Little Too Late…
Respon pemerintah terhadap putusan tersebut menimbulkan pertanyaan serius mengenai kesungguhannya dalam menangani pencemaran udara. Misalnya muncul pertanyaan apa yang sebenarnya dikhawatirkan pemerintah hingga menghindari untuk melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang dinyatakan dalam putusan. Pertanyaan ini muncul karena apabila pemerintah benar-benar serius untuk menangani kondisi kualitas udara yang kian memburuk, mengapa perlu melibatkan upaya hukum banding hingga kasasi atas gugatan warga negaranya yang kembali lagi, hanya semata-mata meminta mereka untuk melaksanakan kewajibannya dan menjamin hak warga negaranya sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Seharusnya, dengan dilayangkannya gugatan oleh warga negaranya, pemerintah justru perlu memahami dan mengakui urgensi akan perlunya penanganan serius terkait permasalahan ini.
Pencemaran udara di Jakarta bukanlah permasalahan yang baru dan bukan pula persoalan yang masih harus diperdebatkan. Terlebih lagi, telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kualitas udara Jakarta menurunkan harapan hidup rata-rata penduduknya. Ini mengindikasikan bahwa tercemarnya udara Jakarta merupakan persoalan nyata yang juga memerlukan tindakan konkret dari pemerintah. Meskipun kita dapat melihat respons pemerintah terhadap isu ini di berbagai media dengan pernyataan yang menunjukkan keseriusan mereka untuk menanganinya, apakah mereka benar serius dalam upaya penanganan tersebut, adalah pertanyaan yang patut diajukan. Namun, dapat kita nilai dari kondisi produk hukum yang ada hingga implementasinya di lapangan, yang sayangnya tidak selalu sesuai dengan retorika yang mereka sampaikan.
Tindakan serta respon pemerintah yang terlihat tidak terlalu serius menangani permasalahan pencemaran udara ini bukan hanya tercermin dari respon pemerintah akan putusan saja, namun juga melalui beberapa aspek. Salah satunya adalah fakta yang terungkap dalam putusan, di mana sejak tahun 2017, telah ada putusan pengadilan yang memerintahkan pemerintah Indonesia untuk merevisi Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Namun faktanya hingga sekarang, enam tahun berlalu, hasil perubahan dari produk hukum tersebut belum juga dapat dilihat keberadaannya. Terlebih lagi, terkait dengan penetapan BMUA baik di tingkat nasional maupun daerah yang belum sesuai dengan standar rekomendasi WHO sebagaimana yang dinyatakan dalam perkara, Majelis Hakim bahkan berpendapat bahwa hal tersebut menunjukkan pembiaran yang telah dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia.
Perlu dipertanyakan, apakah sebenarnya pemerintah belum juga menyadari akan urgensi dari penanganan pencemaran udara di Jakarta, atau justru memilih untuk menutup mata dalam menghadapi permasalahan ini? Kembali lagi, yang sebenarnya dipermasalahkan adalah bukan tidak adanya sama sekali respons pemerintah untuk menangani permasalahan ini, namun apa yang menjadi persoalan adalah tindakan pemerintah yang dapat dikatakan “too little too late.” Artinya, penanganan yang ada sejauh ini terlalu minim untuk mengatasi permasalahan yang besar. Selain itu, penanganan tersebut terkesan terlambat. Inilah yang menjadi persoalan utama dalam penanganan pencemaran udara.
Sebagaimana, seperti yang kita ketahui, kondisi udara Jakarta memang sedang menjadi perbincangan hangat di media belakangan ini. Respons pemerintah, mulai dari melakukan penutupan Pembankit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, memodikasi cuaca, hingga mendorong penggunaan dan meningkatkan kapasitas transportasi publik, tentu merupakan langkah-langkah positif. Namun, yang patut dipertanyakan kembali adalah mengapa tindakan ini baru datang sekarang, padahal persoalan ini bukanlah sesuatu yang baru. Terlebih lagi, tindakan yang diambil pemerintah juga sebenarnya dapat dikatakan masih jauh dari memadai mengingat tingkat pencemaran yang semakin memburuk. Keterlambatan dan minimnya respons dari pemerintah dalam menghadapi permasalahan yang serius ini tentu mengundang pertanyaan. Padahal, saat ini, yang dibutuhkan adalah respons pemerintah yang lebih komprehensif dan berani dalam mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengatasi krisis kualitas udara yang ada.
Penutup
Pencemaran udara merupakan permasalahan serius dan penting bagi pemerintah untuk melakukan tindakan yang responsif dan proaktif dalam memenuhi kewajibannya sebagai penyelenggara negara dalam mengendalikan pencemaran udara. Tanggapan pemerintah terhadap putusan pengadilan dalam perkara, sebenarnya menjadi ceriman komitmen mereka untuk menyelesaikan upaya ini. Pemerintah seharusnya memanfaatkan gugatan yang diajukan warga negaranya sebagai dorongan untuk menyadari urgensi akan perlunya penanganan serius terhadap permasalahan ini, yang sebenarnya merupakan tanggung jawabnya, bukan justru menghindarinya. Lebih jauh lagi, dapat saja upaya hukum banding dan kasasi dilakukan oleh pemerintah karena kekhawatiran gugatan ini dipolitisasi, “digoreng” untuk kepentingan politik tertentu. Apabila dugaan ini benar, maka yang perlu kita khawatirkan adalah dijadikannya banding dan kasasi tersebut sebagai langkah politik, bukan langkah hukum, oleh pemerintah. Politasasi semacam ini menjadikan masyarakat dan lingkungan sebagai korban.
Referensi:
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Putusan No. 374/Pdt.G/LH/2019/PN.Jkt.Pst. Melanie Soebono dkk melawan Negara RI Cq. Presiden RI dkk (2019).
Pengadilan Negeri Palangkaraya. Putusan No. 118/Pdt.G/LH/2016/PN.Plk., Arie Rompas dkk melawan Negara RI Cq. Presiden RI dkk (2016).
Mannucci, Pier Mannuccio dan Massioma Franchini. “Health Effects of Ambient Air Pollution in Developing Countries.” International Journal of Environmental Research and Public Health. Vol. 14. No. 9 (September 2017). Hlm. 1-8.
Purwadi, Ari., et. al.“Urban Air Pollution Control Caused by Exhaust Gas emissions in Developing Country Cities in Public Policy Law Perspective.” Internasional Journal of Energi Economics and Policy (IJEEP). Vol. 10. No. 1 (2020). Hlm. 30-37.
Chen, Heather. “Jakarta is the world’s most polluted city. And Indonesia’s leader may have the cough to prove it.” CNN.com. 16 Agustus 2023. https://edition.cnn.com/2023/08/16/asia/indonesia-pollution-jokowi-cough-intl-hnk/index.html.
CNN Indonesia. “Kasasi Pemerintah dan Ketidakseriusan Atasi Polusi Udara Jakarta.” cnnindonesia.com. 17 Agustus 2023. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230816094054-20-986659/kasasi-pemerintah-dan-ketidakseriusan-atasi-polusi-udara-jakarta.
Komara, Indra. “5 Langkah Pemerintah Atasi Polusi Udara, Hasil Rapat di Kantor Luhut.” news.detik.com. 18 Agustus 2023. https://news.detik.com/berita/d-6883375/5-langkah-pemerintah-atasi-polusi-udara-hasil-rapat-di-kantor-luhut.
Walton, Kate. “Jakarta’s Air Quality Kills its Residents – and it’s Getting Worse.” lowyinstitute.org. 1 Juli 2019, https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/jakarta-s-air-quality-kills-its-residents-it-s-getting-worse.
Wold Health Organization. “Ambient (Outdoor) Air Polution.” who.int, 19 Desember 2022, https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/ambient-(outdoor)-air-quality-and-health#:~:text=Ambient%20(outdoor)%20air%20pollution%20is,Asia%20and%20Western%20Pacific%20Region